Kesederhaan Fatmawati
Lima Periode Kesederhaan Fatmawati
Pada bidang putih, seukuran meja pingpong yang berdiri tegak, foto reproduksi keluarga presiden pertama RI, Soekarno, terpajang. Yang menarik perhatian, di sebelah foto besar itu terdapat kata-kata dengan huruf warna merah berbunyi: O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe....Itulah penggalan kalimat rayuan Bung Karno kepada Fatmawati yang tertulis dalam sebuah surat cinta pada 11 September 1941. Fragmen ini menjadi bagian menarik “Pagelaran Foto Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Soekarno”, yang digelar di Jogja Gallery, Jalan Pekapalan, Alun-alun Utara Yogyakarta, 14-21 April 2008. Sebanyak 124 koleksi foto terpajang rapi di ruang pamer, mulai lantai pertama hingga lantai kedua.Selain foto, diputar pula dua film dokumenter berjudul Bu Fat dalam Kenangan dan Tjinta Fatma, yang merupakan karya dokudrama.
Foto : Dari undangan pagelaran diatas.
Oleh : Sigit Indra (Yogyakarta)
Seni, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 24 April 2008
Pada bidang putih, seukuran meja pingpong yang berdiri tegak, foto reproduksi keluarga presiden pertama RI, Soekarno, terpajang. Yang menarik perhatian, di sebelah foto besar itu terdapat kata-kata dengan huruf warna merah berbunyi: O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe....Itulah penggalan kalimat rayuan Bung Karno kepada Fatmawati yang tertulis dalam sebuah surat cinta pada 11 September 1941. Fragmen ini menjadi bagian menarik “Pagelaran Foto Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Soekarno”, yang digelar di Jogja Gallery, Jalan Pekapalan, Alun-alun Utara Yogyakarta, 14-21 April 2008. Sebanyak 124 koleksi foto terpajang rapi di ruang pamer, mulai lantai pertama hingga lantai kedua.Selain foto, diputar pula dua film dokumenter berjudul Bu Fat dalam Kenangan dan Tjinta Fatma, yang merupakan karya dokudrama.
Tjinta Fatma mengisahkan masa-masa muda Fatmawati di Bengkulu, kisah percintaan dan pernikahannya dengan Bung Karno, hingga perannya dalam proklamasi kemerdekaan. Pameran ini merupakan rangkaian kegiatan mengenang 85 tahun Fatmawati Soekarno, yang digagas Yayasan Bung Karno sekaligus memperingati Hari Kartini yang jatuh pada bulan April.Kegiatan pertama dilaksanakan pada Februari dan Maret lalu di Jakarta, kemudian di Bengkulu, tanah kelahiran Fatmawati, dan mulai Maret lampau di Yogyakarta melalui kegiatan sosial. Melalui pameran ini, figur fatmawati muncul kembali. Sosok Fatmawati terlihat pada berbagai masa, peristiwa, dan lokasi yang beragam.Benang merah dari seluruh foto yang tampil sepertinya berupaya menunjukkan potret keseharian Fatmawati yang sederhana dan rileks, jauh dari ingar-bingar kemewahan layaknya first lady negara lain. Fatmawati, oleh keluarga, kerabat, dan kawan dekatnya, dikenal luwes bergaul, peramah, dan riang. “Banyak hal yang bisa saya pelajari dari Ibu. Buat saya, dia guru saya,” kata Guruh Soekarnoputra, Ketua Yayasan Bung Karno, ketika membuka pameran.Seluruh foto dalam pameran ini dikumpulkan dan diseleksi Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumbernya dari koleksi keluarga, yayasan, media cetak, dan pribadi. Foto-foto itu dipajang menurut periode hidup Fatmawati, yakni periode Bengkulu, periode pendudukan Jepang, periode Yogyakarta, periode Istana Merdeka, dan periode Sriwijaya. Periode Bengkulu menampilkan masa muda Fatmawati, yang pada usia empat tahun pernah diramalkan akan mendapat jodoh orang yang kedudukannya tertinggi di negeri ini.Periode pendudukan Jepang mengisahkan Fatmawati, yang setelah menikah dengan Bung Karno, hijrah ke Jakarta. Periode ini termasuk masa-masa lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Fatmawati menjahit bendera pusaka Merah-Putih pada 1944, hingga proklamasi 17 Agustus 1945. Fatmawati terekam dalam empat bingkai foto hasil bidikan fotografer Frans Mendur selama detik-detik proklamasi.Pada periode Yogyakarta, ketika muncul gejolak revolusi kemerdekaan, berbagai kericuhan, masalah kenegaraan, dan pemberontakan di dalam republik, sehingga ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga kepresidenan. Fokus paling besar pameran sepertinya berada pada periode ini. Pada periode ini, terdapat foto-foto Fatmawati ketika tinggal di Istana Gedung Agung.Satu di antaranya memperlihatkan Fatmawati ketika mencuci pakaian keluarga di Kali Code, Yogyakarta. Ia juga sering membersihkan dan memangkas rumput di halaman istana. Menurut Guruh, pada masa-masa inilah, banyak kenangan manis yang terekam. “Jakarta memang kota proklamasi, tapi Yogyakarta adalah kota untuk mempertahankan proklamasi,” katanya.Setelah pusat pemerintahan kembali ke Jakarta, dalam pameran ini digolongkan dalam periode Istana Merdeka, foto-foto yang tampil menunjukkan kegiatan Fatmawati mendampingi suaminya dalam kegiatan kenegaraan. Ketika itulah Fatmawati mendapat pengalaman melakukan perjalanan kenegaraan ke luar negeri. Perjalanan ke India, Pakistan, dan Burma menjadi rangkaian kunjungannya yang perdana.Periode Sriwijaya menampilkan potret Fatmawati sehari-hari di rumahnya di Jalan Sriwijaya. Jauh dari ikatan protokoler, dari tempat tinggalnya Fatmawati banyak menggelar kegiatan sosial. Ia juga tak pernah melupakan untuk mengasuh dan membesarkan lima putra-putrinya, yang pada saat itu mulai tumbuh dewasa. Keseharian yang penuh keakraban dengan keluarga hampir dapat dijumpai di sebagian besar koleksi foto.Melalui pameran ini, Yayasan Bung Karno ingin lebih mengenalkan sosok Fatmawati, yang tak berbeda dari kaum wanita biasa lainnya. Sebagai penghormatan, Fatmawati telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Namanya pun dipakai sebagai nama Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan dan Bandara Fatmawati Soekarno di kota kelahirannya.
Foto : Dari undangan pagelaran diatas.
Oleh : Sigit Indra (Yogyakarta)
Seni, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 24 April 2008
0 komentar: to “ Kesederhaan Fatmawati ”
Post a Comment